(Makalah Ekologi Pertanian)
Oleh :
Indah Dewi Saputri 1414121109
Lita Theresia Pasaribu 1414121129
JURUSAN
AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
2015
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pertanian
dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk mengadakan suatu ekosistem buatan
yanga bertugas menyediaakan bahan makanan bagi manusia.Untuk mendapatkan
produksi yang optimal seperti yang diharapkan, banyak hal yang perlu
diperhatikan dalam bertani, diantaranya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi itu sendiri termasuk di dalamnya agroekosistem lahan.
Dalam hal
ini, agroekosistem lahan sangat berpengaruh terhadap cara dan tekhnik penanaman.
Agroekosistem
merupakan ekosistem pertanian yang menjadi bagian dari agroekologi yaitu ilmu
yang membahas atau mendiskusikan hubungan timbal balik antara lingkungan dengan
upaya peningkatan produksi tanaman melalui proses biologi. Sebagai suatu sistem
tentu melibatkan beberapa komponen atau subsistem, terdapat berbagai subsistem
yang merupakan bagian dari agroekosistem. Setiap subsistem memiliki
tanaman tertentu yang mendominasi. Agroekosistem secara teoritis telah
dipahami, namun perlu pemahaman lebih dalam bagaimana hubungan antara
subsistem dengan agroekosistem (Arifin, 2013).
Untuk
itu mahasiswa diharapkan untuk mengetahui hubungan agroekosistem lahan dengan
penanaman melalui pembuatan makalah ini. Selanjutnya mahasiswa diharapkan dapat
menerapkannya dalam usaha pertanian di masa mendatang.
B.
Tujuan
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah :
1. Memahami
hubungan antara penanaman dengan agroekosistem pada lahan
2. Mengetahui
perbedaan dari masing masing agroekosistem dan cara penanaman di agroekosistem
tersebut.
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Agroekosistem
Agroekosistem adalah pertanian yg bersifat hubungan
timbal balik antara sekelompok manusia (masyarakat) dan lingkungan fisik dari
lingkungan hidupnya guna memungkinkan kelangsungan hidup kelompok manusia
(masyarakat) itu. (Anonim a. 2011)
Agroekosistem berasal dari kata sistem, ekologi dan
agro. Sistem adalah suatu kesatuan
himpunan komponen-komponen yang saling berkaitan dan pengaruh-mempengaruhi
sehingga di antaranya terjadi proses yang serasi. Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal
balik antara organisme dengan lingkungannya. Sedangkan ekosistem adalah sistem yang terdiri dari komponen biotic dan
abiotik yang terlibat dalam proses bersama (aliran energi dan siklus nutrisi).
Pengertian Agro adalah Pertanian dapat berarti sebagai kegiatan produksi/industri biologis yang
dikelola manusia dengan obyek tanaman dan ternak. Pengertian lain dapat meninjau sebagai
lingkungan buatan untuk kegiatan budidaya tanaman dan ternak. Pertanian dapat
juga dipandang sebagai pemanenan energi matahari secara langsung atau tidak
langsung melalui pertumbuhan tanaman dan ternak (Saragih, 2000). Agroekosistem
dapat dipandang sebagai sistem ekologi pada lingkungan pertanian.
Pendekatan agroekosistem berusaha menanggulangi
kerusakan lingkungan akibat penerapan sistem pertanian yang tidak tepat dan
pemecahan masalah pertanian spesifik akibat penggunaan masukan teknologi
(Sutanto, 2002).
Masalah lingkungan serius di pedesaan dan pertanian
adalah kerusakan hutan, meluasnya padang alang-alang, degradasi lahan dan
menurunnya lahan kritis, desertifikasi, serta menurunnya keanekaragaman.
Masalah lingkungan ini sebagai akibat adanya lapar lahan seiring meningkatnya
populasi penduduk, komersialisasi pertanian, masukan teknologi pertanian dan
permintaan konsumsi masyarakat.
Komponen Agroekosistem adalah : Petani., Lahan –
tanaman, .Ternak. dan
Manajemen/teknologi. Pendekatan
agroekosistem dalam peternakan adalah pengembangan peternakan dalam keterpaduan
wilayah pertanian spesifik. Dengan
demikian pendekatan agroekosistem dalam pengelolaan sumberdaya pakan adalah
pengelolaan potensi dan pemanfaatannya dalam keterpaduan wilayah pertanian dan
pengembangan peternakan. Kepentingan pendekatan agroekosistem adalah : 1)
Keterpaduan komponen AES untuk kepentingan ekonomis, 2) Keterpaduan komoditas untuk proses
produksi hulu ke hilir 3) Keterpaduan
wilayah untuk kelestarian lingkungan hidup / sumberdaya alam.
B. Lanskap
Lanskap adalah gabungan fitur-fitur buatan dan alamiah
yang membentuk karakteristik permukaan tanah, yang meliputi aspek spasial,
tekstural, komposisional dan dinamika tanah. Irwan (1992), menyatakan lanskap
merupakan wajah dan karakter lahan atau panorama dengan segala kehidupan apa
saja yang ada didalamnya, baik yang bersifat alami, non alami atau gabungan
keduanya yang merupakan bagian total lingkungan hidup manusia beserta makhluk
hidup lainnya.
Motloch (1993), menyatakan lanskap dalam definisi
kontemporernya meliputi daerah yang masih liar dan daerah yang terhuni. Daerah
yang masih liar adalah lanskap alami dan daerah yang berpenghuni adalah lanskap
buatan. Lanskap juga berarti suatu keadaan pada suatu masa yang merupakan
bagian ekspresi dan pengaruh dari unsur-unsur ekologi, teknologi dan budaya
C. Agroekosistem
Lahan Kering
Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif
luas dibandingkan dengan lahan basah. Selanjutnya menurut Hidayat dkk (2000) lahan kering adalah hamparan lahan
yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama
setahun. Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70
%. Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk keperluan
pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan sudah sangat
berkembang. Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat
menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan
meningkat. Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering untuk
pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah
merupakan keharusan. Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum
bisa memenuhi kebutuhan. Upaya lainnya dengan pembukaan lahan baru
sudah tidak terelakkan lagi.
Sejak akhir abad ke 19 perkembangan pertanian lahan kering khususnya di
pulau Jawa dirasakan sangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar
pulau Jawa. Antara tahun 1875 – 1925 (50 tahun) peningkatannya mencapai
lebih dari 350 persen. Hal ini terjadi akibat ketersediaan lahan
basah di dataran rendah bagi kebanyakan petani yang memanfaatkannya
sebagai lahan pertanian pangan semakin berkurang. Sebagian lagi
penyusutan lahan basah didataran rendah akibat konversi lahan menjadi lahan non
pertanian yang tidak terkendali. Lahan kering dapat dibagi
dalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah yang berada pada
ketinggian antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggi barada pada
ketinggi diatas 700 meter dpl (Hidayat, 2000).
Lahan kering di Indonesia menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah,
lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan dengan
perbukitan. Relief tanah ikut menentukan mudah dan tidaknya
pengelolaan lahan kering. Relief tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian.
Ditinjau dari bentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan
lahan kering relatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah).
Hinnga saat ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering secara
berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah
dataran rendah (Irawan dan Pranadji, 2002).
Pemanfaatan lahan kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk
pertanian semusim untuk menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan
penduduk yang bermukim di pedesaan. (Scherr, 2003).
D. Agroekosistem Lahan Basah
Lahan basah atau wetland. adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air,
baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian
atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal.
Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa
bakau), paya,
dan gambut.
Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air
tawar, payau
atau asin.
Lahan
basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati
yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem.
Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi
(masyarakat tetumbuhan), seperti hutan rawa air
tawar, hutan rawa gambut,
hutan bakau,
paya rumput
dan lain-lain.
Pada
sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang merupakan lahan yang subur,
sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi
menjadi lahan-lahan pertanian.
Baik sebagai lahan persawahan,
lokasi pertambakan,
maupun --di Indonesia--
sebagai wilayah transmigrasi. (Anonim b, 2014)
E. Agroekosistem Lahan Gambut
Agroekosistem lahan gambut dapat
dimaknai sebagai wilayah atau kawasan pertanian yang usaha taninya berbasis
komoditas lahan gambut. Pemanfaatan lahan gambut dengan merubah ekosistemnya
tidak menjamin keuntungan ekonomi, bahkan seringkali mendatangkan kerugian bagi
masyarakat. Untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan lingkungan sekaligus dari
lahan gambut diperlukan keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan.
Sesuai dengan arahan Departemen Pertanian, lahan gambut yang dapat
dimanfaatkan untuk tanaman pangan disarankan pada gambut dangkal (< 100 cm).
Tanaman pangan yang mampu beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai,
ubikayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya.
Lahan gambut dengan ketebalan antara 1,4-2 m tergolong sesuai untuk
beberapa tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit, sedangkan gambut
dengan ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan kecuali jika ada
sisipan / pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral. Gambut dengan ketebalan
>3m diperuntukkan sebagai kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan
Presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam
yang rapuh apabila dikonversi menjadi lahan pertanian.
Lahan gambut hanya meliputi
3% dari luas daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau
setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh karbon atmosfer, setara dengan
seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan
setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia. Lahan gambut menyimpan
karbon pada biomassa tanaman, serasah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan
lapisan tanah mineral di bawah gambut (substratum). Dari berbagai simpanan
tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah
tertinggi. (Anonim c, 2015)
F. Agroekosistem Lahan Rawa Lebak
Kata
lebak diambil dari kosakata bahasa Jawa yang berarti lembah atau tanah rendah .
Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang
tahun, minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa
lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian,
termasuk perikanan dan peternakan disebut lahan rawa lebak. Rawa lebak yang
sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton,
sedangkan jika kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara laut/sungai besar
disebut rawa pedalaman (Noor, M. 2007).
Rawa
lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa
cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai
(levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa
lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan
paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah
genangannya. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4-7
meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau
wilayah paling bawah. Pada musim kemarau muka air tanah di lahan rawa lebak
dangkal dapat mencapai > 1 meter sehingga lebih menyerupai lahan kering
(upland). Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah
hujan antara 2.000-3.000 mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah =
bulan yang mempunyai curah hujan bulanan > 200 mm) atau antara 3-4 bulan
kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <100 mm).
Bulan basah jatuh pada bulan Oktober/November sampai Maret/April, sedangkan
bulan kering jatuh antara bulan Juli sampai September (Noor, M. 2007).
Rawa
lebak dibedakan dengan rawa pasang surut karena mempunyai bentuk fisiografi
(landform), penyebaran, dan sifat serta watak yang berbeda. Mempunyai topografi
berupa cekungan dan merupakan dataran banjir dengan masa genangan lebih
panjang. Dalam konteks yang lebih luas, lahan rawa lebak juga sering
dikelompokkan sebagai wetland, lowland, peatland, inland, deepwater land. 2.
Pembagian Lahan Lebak Lahan rawa lebak mempunyai ciri yang sangat khas, pada
musim hujan terjadi genangan air yang melimpah dalam variasi kurun waktu yang
cukup lama. Genangan air dapat kurang dari satu bulan sampai enam bulan atau
lebih, dengan ketinggian genangan 50 cm – 100 cm. Air yang menggenang tersebut
bukan merupakan limpasan air pasang, tetapi berasal dari limpasan air permukaan
yang terakumulasi di wilayah tersebut karena topografinya yang lebih rendah dan
drainasinya jelek. Kondisi genangan air sangat dipengaruhi oleh curah hujan,
baik di daerah tersebut maupun wilayah sekitarnya serta daerah hulu (Ismail et al.,
1993 dalam Noor, M. 2007).
Berdasarkan
ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi menjadi dua tipologi, yaitu: (1) rawa
lebak dataran tinggi, banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa, (2) rawa lebak
dataran rendah, sebagian besar tersebar di Kalimantan. Berdasarkan ketinggian
dan lamanya genangan, lahan rawa lebak dapat dibagi dalam tiga tipologi, yaitu:
a. Lebak dangkal adalah wilayah yang mempunyai tinggi genangan 25-50 cm dengan
lama genangan minimal 3 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai
hidrotopografi nisbi lebih tinggi dan merupakan wilayah paling dekat dengan
tanggul. b. Lebak tengahan ialah wilayah yang mempunyai tinggi genangan 50-100
cm dengan lama genangan minimal 3-6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai
hidrotopografi lebih rendah daripada lebak dangkal dan merupakan c. Lebak dalam
ialah wilayah yang mempunyai tinggi genangan > 100 cm dengan lama genangan
minimal > 6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi (Noor,
M, dkk. 2011).
III. KESIMPULAN
Berikut kesimpulan dari makalah yang kami
buat :
1. Agroekositem
amat berpengaruh terhadap tanaman yang dibudidayakan.
2. Tidak
semua jenis tanaman dapat di tanam di setiap agroekosistem.
3.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim a. 2011. Agroekosistem. http://za0l.multiply.com/journal/item/72/agroekosistem. Diakses pada tanggal 14 Mei 2015.
Anonim b. 2014. Lahan
Basah. http://id.wikipedia.org/wiki/Lahan_basah. Diakses pada
tanggal 14 Mei 2015.
Anonim c. 2015.
Agroekosistem Lahan Gambut. http://rahmadien.student.unej.ac.id/?p=134. Diakses pada
tanggal 14 Mei 2015.
Hidayat, A.,
Hikmatullah, dan Santoso, D. 2000. Potensi dan Pengelolaan Lahan
Kering Dataran Rendah. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Irawan,
B. dan Pranaji, T. 2002. Kebijakan
Pemberdayaan Lahan Kering Untuk mendukung Pengembangan Agribisnis dan Peetanian
Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Bogor.
Irwan,
Z.D.1992. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi : Ekosistem,Komunitas, dan
Lingkungan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
Motloch,
L.J. 1991. Introduction to Landscape
Design. Van Nostrand Reinhold. New York.
Noor,
M. 2007. Rawa Lebak: Ekologi,
Pemanfaatan, dan Pengembangannya. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Saragih,
B. 2000. Agribisnis berbasis Peternakan.
Pustaka Wirausaha. Bogor.
Scherr, S.J.
2003. Hunger, Proverty and Biodiversity in
Developing Countries. A. Paper for the Mexico Summit, 2-3 June 2003.
Mexico.
Sutanto.
R. 2002. Penerapan Pertanian Organik.
Kanisius. Yogyakarta.
0 comments:
Post a Comment