Thursday, December 29, 2016

CROPPING AND AGROECOSYSTEMS IN THE LANDSCAPE

(Makalah Ekologi Pertanian)













Oleh :
Indah Dewi Saputri    1414121109
Lita Theresia Pasaribu 1414121129








 












JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015





I.                   PENDAHULUAN


A.                Latar Belakang

Pertanian dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk mengadakan suatu ekosistem buatan yanga bertugas menyediaakan bahan makanan bagi manusia.Untuk mendapatkan produksi yang optimal seperti yang diharapkan, banyak hal yang perlu diperhatikan dalam bertani, diantaranya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi produksi itu sendiri termasuk di dalamnya agroekosistem lahan.
Dalam hal ini, agroekosistem lahan sangat berpengaruh terhadap cara dan tekhnik penanaman.

Agroekosistem merupakan ekosistem pertanian yang menjadi bagian dari agroekologi yaitu ilmu yang membahas atau mendiskusikan hubungan timbal balik antara lingkungan dengan upaya peningkatan produksi tanaman melalui proses biologi. Sebagai suatu sistem tentu melibatkan beberapa komponen atau subsistem, terdapat berbagai subsistem yang merupakan  bagian dari agroekosistem. Setiap subsistem memiliki tanaman tertentu yang mendominasi. Agroekosistem secara teoritis telah dipahami, namun perlu  pemahaman lebih dalam bagaimana hubungan antara subsistem dengan agroekosistem (Arifin, 2013).

Untuk itu mahasiswa diharapkan untuk mengetahui hubungan agroekosistem lahan dengan penanaman melalui pembuatan makalah ini. Selanjutnya mahasiswa diharapkan dapat menerapkannya dalam usaha pertanian di masa mendatang.

B.                 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

     1.      Memahami hubungan antara penanaman dengan agroekosistem pada lahan
     2.      Mengetahui perbedaan dari masing masing agroekosistem dan cara penanaman di agroekosistem tersebut.



II. PEMBAHASAN


A. Pengertian Agroekosistem

Agroekosistem adalah pertanian yg bersifat hubungan timbal balik antara sekelompok manusia (masyarakat) dan lingkungan fisik dari lingkungan hidupnya guna memungkinkan kelangsungan hidup kelompok manusia (masyarakat) itu. (Anonim a. 2011)

Agroekosistem berasal dari kata sistem, ekologi dan agro.  Sistem adalah suatu kesatuan himpunan komponen-komponen yang saling berkaitan dan pengaruh-mempengaruhi sehingga di antaranya terjadi proses yang serasi.  Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya. Sedangkan ekosistem adalah  sistem yang terdiri dari komponen biotic dan abiotik yang terlibat dalam proses bersama (aliran energi dan siklus nutrisi). Pengertian Agro adalah Pertanian dapat berarti sebagai  kegiatan produksi/industri biologis yang dikelola manusia dengan obyek tanaman dan ternak.  Pengertian lain dapat meninjau sebagai lingkungan buatan untuk kegiatan budidaya tanaman dan ternak. Pertanian dapat juga dipandang sebagai pemanenan energi matahari secara langsung atau tidak langsung melalui pertumbuhan tanaman dan ternak (Saragih, 2000). Agroekosistem dapat dipandang sebagai sistem ekologi pada lingkungan pertanian.

Pendekatan agroekosistem berusaha menanggulangi kerusakan lingkungan akibat penerapan sistem pertanian yang tidak tepat dan pemecahan masalah pertanian spesifik akibat penggunaan masukan teknologi (Sutanto, 2002).


Masalah lingkungan serius di pedesaan dan pertanian adalah kerusakan hutan, meluasnya padang alang-alang, degradasi lahan dan menurunnya lahan kritis, desertifikasi, serta menurunnya keanekaragaman. Masalah lingkungan ini sebagai akibat adanya lapar lahan seiring meningkatnya populasi penduduk, komersialisasi pertanian, masukan teknologi pertanian dan permintaan konsumsi masyarakat.

Komponen Agroekosistem adalah : Petani., Lahan – tanaman, .Ternak.  dan Manajemen/teknologi.  Pendekatan agroekosistem dalam peternakan adalah pengembangan peternakan dalam keterpaduan wilayah pertanian spesifik.  Dengan demikian pendekatan agroekosistem dalam pengelolaan sumberdaya pakan adalah pengelolaan potensi dan pemanfaatannya dalam keterpaduan wilayah pertanian dan pengembangan peternakan. Kepentingan pendekatan agroekosistem adalah : 1) Keterpaduan komponen AES untuk kepentingan ekonomis,  2) Keterpaduan komoditas untuk proses produksi  hulu ke hilir 3) Keterpaduan wilayah untuk kelestarian lingkungan hidup / sumberdaya alam.


B. Lanskap

Lanskap adalah gabungan fitur-fitur buatan dan alamiah yang membentuk karakteristik permukaan tanah, yang meliputi aspek spasial, tekstural, komposisional dan dinamika tanah. Irwan (1992), menyatakan lanskap merupakan wajah dan karakter lahan atau panorama dengan segala kehidupan apa saja yang ada didalamnya, baik yang bersifat alami, non alami atau gabungan keduanya yang merupakan bagian total lingkungan hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya.

Motloch (1993), menyatakan lanskap dalam definisi kontemporernya meliputi daerah yang masih liar dan daerah yang terhuni. Daerah yang masih liar adalah lanskap alami dan daerah yang berpenghuni adalah lanskap buatan. Lanskap juga berarti suatu keadaan pada suatu masa yang merupakan bagian ekspresi dan pengaruh dari unsur-unsur ekologi, teknologi dan budaya


C. Agroekosistem Lahan Kering

Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif luas  dibandingkan dengan lahan basah. Selanjutnya menurut Hidayat dkk (2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun.  Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70 %.   Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk  keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan sudah sangat berkembang.  Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat.  Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering  untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan.  Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan.  Upaya lainnya dengan pembukaan lahan baru  sudah tidak  terelakkan lagi.

Sejak akhir abad ke 19 perkembangan pertanian lahan kering khususnya di pulau Jawa dirasakan sangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar pulau Jawa.  Antara tahun 1875 – 1925 (50 tahun) peningkatannya mencapai lebih dari 350  persen.  Hal ini terjadi akibat ketersediaan lahan basah  di dataran rendah bagi kebanyakan petani yang memanfaatkannya sebagai lahan pertanian pangan semakin berkurang.  Sebagian lagi penyusutan lahan basah didataran rendah akibat konversi lahan menjadi lahan non pertanian yang tidak terkendali.   Lahan kering  dapat dibagi dalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah yang berada pada ketinggian antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggi barada pada ketinggi diatas 700 meter dpl (Hidayat, 2000).

Lahan kering di Indonesia menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan dengan perbukitan.  Relief  tanah ikut menentukan mudah dan tidaknya pengelolaan lahan kering.  Relief tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian.  Ditinjau dari bentuk, kesuburan  dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah).  Hinnga saat ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah dataran rendah (Irawan dan Pranadji, 2002).

Pemanfaatan lahan kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk pertanian semusim untuk menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan penduduk yang bermukim di pedesaan.  (Scherr, 2003). 


D. Agroekosistem Lahan Basah

Lahan basah atau wetland. adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin.

Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat tetumbuhan), seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain.

Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi menjadi lahan-lahan pertanian. Baik sebagai lahan persawahan, lokasi pertambakan, maupun --di Indonesia-- sebagai wilayah transmigrasi. (Anonim b, 2014)

E. Agroekosistem Lahan Gambut

Agroekosistem lahan gambut dapat dimaknai sebagai wilayah atau kawasan pertanian yang usaha taninya berbasis komoditas lahan gambut. Pemanfaatan lahan gambut dengan merubah ekosistemnya tidak menjamin keuntungan ekonomi, bahkan seringkali mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan lingkungan sekaligus dari lahan gambut diperlukan keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan.
Sesuai dengan arahan Departemen Pertanian, lahan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan disarankan pada gambut dangkal (< 100 cm). Tanaman pangan yang mampu beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubikayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya.
Lahan gambut dengan ketebalan antara 1,4-2 m tergolong sesuai untuk beberapa tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit, sedangkan gambut dengan ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan kecuali jika ada sisipan / pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral. Gambut dengan ketebalan >3m diperuntukkan sebagai kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam yang rapuh apabila dikonversi menjadi lahan pertanian.

Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh karbon atmosfer, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia. Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, serasah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut (substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. (Anonim c,  2015)

F. Agroekosistem Lahan Rawa Lebak

Kata lebak diambil dari kosakata bahasa Jawa yang berarti lembah atau tanah rendah . Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun, minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan disebut lahan rawa lebak. Rawa lebak yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton, sedangkan jika kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara laut/sungai besar disebut rawa pedalaman (Noor, M. 2007).

Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah genangannya. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4-7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah. Pada musim kemarau muka air tanah di lahan rawa lebak dangkal dapat mencapai > 1 meter sehingga lebih menyerupai lahan kering (upland). Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2.000-3.000 mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan > 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <100 mm). Bulan basah jatuh pada bulan Oktober/November sampai Maret/April, sedangkan bulan kering jatuh antara bulan Juli sampai September (Noor, M. 2007).

Rawa lebak dibedakan dengan rawa pasang surut karena mempunyai bentuk fisiografi (landform), penyebaran, dan sifat serta watak yang berbeda. Mempunyai topografi berupa cekungan dan merupakan dataran banjir dengan masa genangan lebih panjang. Dalam konteks yang lebih luas, lahan rawa lebak juga sering dikelompokkan sebagai wetland, lowland, peatland, inland, deepwater land. 2. Pembagian Lahan Lebak Lahan rawa lebak mempunyai ciri yang sangat khas, pada musim hujan terjadi genangan air yang melimpah dalam variasi kurun waktu yang cukup lama. Genangan air dapat kurang dari satu bulan sampai enam bulan atau lebih, dengan ketinggian genangan 50 cm – 100 cm. Air yang menggenang tersebut bukan merupakan limpasan air pasang, tetapi berasal dari limpasan air permukaan yang terakumulasi di wilayah tersebut karena topografinya yang lebih rendah dan drainasinya jelek. Kondisi genangan air sangat dipengaruhi oleh curah hujan, baik di daerah tersebut maupun wilayah sekitarnya serta daerah hulu (Ismail et al., 1993 dalam Noor, M. 2007).

Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi menjadi dua tipologi, yaitu: (1) rawa lebak dataran tinggi, banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa, (2) rawa lebak dataran rendah, sebagian besar tersebar di Kalimantan. Berdasarkan ketinggian dan lamanya genangan, lahan rawa lebak dapat dibagi dalam tiga tipologi, yaitu: a. Lebak dangkal adalah wilayah yang mempunyai tinggi genangan 25-50 cm dengan lama genangan minimal 3 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi nisbi lebih tinggi dan merupakan wilayah paling dekat dengan tanggul. b. Lebak tengahan ialah wilayah yang mempunyai tinggi genangan 50-100 cm dengan lama genangan minimal 3-6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi lebih rendah daripada lebak dangkal dan merupakan c. Lebak dalam ialah wilayah yang mempunyai tinggi genangan > 100 cm dengan lama genangan minimal > 6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi (Noor, M, dkk. 2011).


III. KESIMPULAN

Berikut kesimpulan dari makalah yang kami buat :

      1.      Agroekositem amat berpengaruh terhadap tanaman yang dibudidayakan.
      2.      Tidak semua jenis tanaman dapat di tanam di setiap agroekosistem.






3.       
DAFTAR PUSTAKA


Anonim a. 2011. Agroekosistem. http://za0l.multiply.com/journal/item/72/agroekosistem. Diakses pada tanggal 14 Mei 2015.

Anonim b. 2014. Lahan Basah. http://id.wikipedia.org/wiki/Lahan_basah. Diakses pada tanggal 14 Mei 2015.

 

Anonim c. 2015. Agroekosistem Lahan Gambut. http://rahmadien.student.unej.ac.id/?p=134. Diakses pada tanggal 14 Mei 2015.

 

Hidayat, A., Hikmatullah, dan Santoso, D. 2000. Potensi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran Rendah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Irawan, B. dan Pranaji, T. 2002. Kebijakan Pemberdayaan Lahan Kering Untuk mendukung Pengembangan Agribisnis dan Peetanian Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Irwan, Z.D.1992. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi : Ekosistem,Komunitas, dan Lingkungan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.

Motloch, L.J. 1991. Introduction to Landscape Design. Van Nostrand Reinhold. New York.

Noor, M. 2007. Rawa Lebak: Ekologi, Pemanfaatan, dan Pengembangannya. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Saragih, B. 2000. Agribisnis berbasis Peternakan. Pustaka Wirausaha. Bogor.

Scherr, S.J. 2003. Hunger, Proverty and Biodiversity in Developing Countries. A. Paper for the Mexico Summit, 2-3 June 2003. Mexico.

Sutanto. R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta.



0 comments:

Post a Comment

 
Envy White Rose Blogger Template by Ipietoon Blogger Template